Jumat, 27 Juni 2014
Keistimewaan Bulan Ramadhan dan Doa-doa Pilihan
Keistimewaan Bulan Ramadhan dan
Doa-doa Pilihan
Bulan
Ramadhan memiliki keutamaan dan keistimewaan yang besar. Semua amal soleh yang
dilakukan pada bulan ini akan mendapat balasan lebih banyak dan lebih baik. Oleh
karena itu kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal kebajikan dan
meninggalkan kemaksiatan. Diantara keutamaan dan keistimewaan bulan Ramadhan
tersebut, disebutkan dalam beberapa riwayat:1. Ramadhan adalah bulan penuh berkah, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan pun dibelenggu. Pada bulan Ramadhan terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah SAW bersabda:
قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌمُبَارَكٌ افْتَرَضَ
اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فَيْهِ أبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فَيْهِ
أبْوَابُ الْجَحِيْمِ وَتُغَلًّ فَيْهَ الشَّيَاطَيْنُ فَيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ
ألْفِ شَهْرٍ
Telah datang Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, maka Allah mewajibkan kalian untuk berpuasa pada bulan itu, saat itu pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, para setan diikat dan pada bulan itu pula terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. (HR. Ahmad)
2. Allah SWT membebaskan penghuni neraka pada setiap malam bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:
إذَا كَانَ أوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِرَمَضَانَ
صُفِّدَتْ الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أبْوَابُ النَّارِ
فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أبْوَابُ الجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ
مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِيْ مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ
أقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
Jika awal Ramadhan tiba, maka
setan-setan dan jin dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satu
pintu pun yang dibuka. Sedangkan pintu-pintu surga dibuka, dan tidak satu pintu
pun yang ditutup. Lalu ada seruan (pada bulan Ramadhan); Wahai orang yang
menginginkan kebaikan, datanglah. Wahai orang yang ingin kejahatan, tahanlah
dirimu. Pada setiap malam Allah SWT memiliki orang-orang yang dibebaskan dari
neraka. (HR Tirmidzi)3. Puasa bulan Ramadhan adalah sebagai penebus dosa hingga datangnya bulan Ramadhan berikutya. Rasulullah SAW bersabda:
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إلَى
الْجُمْعَةِ وَرَمَضَاُن إلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاةٌ مَا بَيْنَهُنَّ إذَاجْتَنَبَ
اْلكَبَائِرَ
Jarak antara shalat lima waktu, shalat jum’at dengan jum’at berikutnya dan puasa Ramadhan dengan Ramadhan berikutnya merupakan penebus dosa-dosa yang ada diantaranya, apabila tidak melakukan dosa besar. (HR Muslim)
4. Puasa Ramadhan bisa menebus dosa-dosa yang telah lewat, dengan syarat puasanya ikhlas. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa berpuasa dibulan Ramadhan karena Iman dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari dan Muslim)
5. Barangsiapa memberi buka orang yang puasa maka mendapat pahala sebanyak pahala orang puasa tersebut.
مَنْ فَطَرَ صَائِمًا كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أجْرِ
الصَّا ئِمِ لَا يَنْقُصَ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ
شَيْئٌ
Barangsiapa memberi perbukaan (makanan atau minuman) kepada orang yang berpuasa, maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa tersebut. (HR Ahmad)
6. Sedekah yang paling baik adalah pada bulan Ramadhan.
أيُّ الصَّدَقَةِ أفْضَلُ؟ قَالَ صَدَقَةٌ فَيْ
رَمَضَانَ
Rasulullah SAW pemah ditanya; Sedekah apakah yang paling mulia? Beliau menjawab: “Yaitu sedekah dibulan Ramadhan.” (HR Tirmidzi)
7. Orang yang banyak beribadah (menghidupkan) bulan Ramadhan, maka dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim)
8. Doa orang yang berpuasa adalah mustajab Rasulullah SAW bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ ؛دَعْوَةُ
الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ
Ada tiga macam doa yang mustajab, yaitu doa orang yang sedang puasa, doa musafir dan doa orang yang teraniaya. (HR Baihaqi)
9. Puasa dan ِAl-Qur’an yang dibaca pada malam Ramadhan akan memberi syafaat kepada orang yang mengerjakannya kelak dihari kiamat. Rasulullah SAW bersabda:
اَلصُّيَامُ وَاْلقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ
يَوْمَ اْلقِيَامَةِ يَقُوْلُ اَلصِّيَامُ أيْ رَبِّ مَنَعْتُهُُ الطَّعَامَ
وَالشَّهَوَاتَ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِى فَيْهِ وَيَقُوْلُ اْلقُرْآنُ مَنَعْتُهُ
النَّوْمَ بِالَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيْهِ قَالَ
فَيُشَفِّعَانِ
Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat seorang hamba pada hari kiamat. Puasa berkata: “Ya Rabbi, aku mencegahnya dari makan dan minum di siang hari”, ِAl-Qur’ an juga berkata: “Aku mencegahnya dari tidur dimalam hari, maka kami mohon syafaat buat dia.” Beliau bersabda: “Maka keduanya dibolehkan memberi syafaat.” (HR Ahmad)
10. Orang yang melaksanakan Umrah pada bulan Ramadhan maka mendapat pahala seperti melakukan Haji. Rasulullah SAW bersabda:
فَإِنَّ عُمْرَةَ فِيْ رَمَضَانَ
حَجَّةٌ
Sesungguhnya umrah dibulan Ramadhan sama dengan pahala haji. (HR Bukhari)
Doa-Doa Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan mulia, penuh berkah dan mustajab, maka kita sangat dianjurkan banyak berdoa. Diantara doa-doa penting dibaca pada bulan Ramadhan adalah:
1. Doa Bulan Rajab dan Sya'ban Menyambut Ramadhan:
اَللَّهُمَّ باَرِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ
وَبَلِّغْناَ رَمَضَانَ
"Ya Allah, berkahilah kami dibulan Rajab dan Sya'ban dan pertemukan kami dengan bulan Ramadhan." (HR Ahmad)
2. Doa Lailatul Qadr:
اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ
الْعَفْوَ فاَعْفُ عَنَّا
Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Dzat Maha Pengampun lagi Maha Pemurah, senang pada ampunan, maka ampunilah kami, wahai Dzat yang Maha Pemurah. (HR Tirmidzi)
3. Doa Shalat Witir:
سُبْحَانَ الْمَلِكِ
الْقُدُّْوْسِ
Maha Suci Engkau penguasa yang memiliki kesucian. (HR Nasai)
سُبُّوْحٌ قُدُّْوْسٌ رَبُّنَا وَرَبُّ
الْمَلائِكَةِ وَالرُّوْحِ
Maha Suci Engkau Dzat yang memiliki kesucian, Tuhannya para Malaikat dan Ruh. (HR Daruquthni)
4. Menjelang Berbuka Sebaiknya Membaca doa:
أشْهَدُ أنْ لاَإلَهَ إلاَّ اللهُ أسْتَغْفِرُ اللهُ
أسْألُكَ رِضَاكَ وَالْجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ
النَّارِ
Saya bersaksi tidak ada Tuhan Selain Allah, Saya mohon ampun kepada Allah, Saya mohon Ridha-Mu, SurgaMu dan selamatkanlah saya dari neraka." Mu dan selamatkanlah saya dari neraka.
5. Doa Buka Puasa
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ
ذَهَبَ الظَّمَاءُ وَابْتَلَّتْ العُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأجْرُ إنْ شَاءَ
اللهُ
Ya Allah, Aku berpuasa hanya untuk-Mu dan dengan rizki-Mu aku berbuka. Hilanglah rasa haus, tenggorakan menjadz basah, semoga pahala ditetapkan, insya Allah." (HR Abu Dawud)
6. Jika Berbuka di Tempat Saudara dianjurkan mengucapkan:
أفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ
طَعَامَكُمْ اْلأبْرَارَ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمْ
الْمَلاَئْكَةُ
Telah berbuka di tempatmu orang-orang yang puasa. Orang-orang baik memakan makanan kalian, dan para malaikat mendoakan kalian." (HR Abu Dawud)
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Sumber : Situs Resmi PBNU
Lebih Utama Mana Shalat Tarawih Berjamaah Atau Sendiri ?
FASAL TENTANG SHALAT TARAWIH
(3)
Lebih Utama Mana Shalat Tarawih Berjamaah Atau Sendiri ?
Lebih Utama Mana Shalat Tarawih Berjamaah Atau Sendiri ?
Para ulama juga berbeda pendapat apakah seharusnya shalat
tarawih dilaksanakan dengan berjamaah atau sendiri-sendiri di malam Ramadhan
maka para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
Imam al-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama Syafi’iyyah dan sebagian pengikut Imam Malik dan lainnya berpendapat bahwa: Shalat tarawih lebih utama dilakukan secara berjamaah, alasannya:
1) Mengikuti perintah Umar bin Khatab ra sebagaimana
hadis-hadis yang sudah diriwayatkan terdahulu.
2) Melaksanakan amalan para sahabat Nabi r.a
3) Melestarikan amalan kaum muslimin Timur dan Barat.
4) Karena termasuk perbuatan mensyi’arkan Islam,
sebagaimana halnya shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Malahan berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Imam at Thahawi berpendapat berjamaah dalam shalat tarawih hukumnya Wajib Kifayah
Namun Imam Malik Abu Yusuf dan sebagian kecil pengikut Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat berjamaah Tarawih hukumnya “lebih utama dilaksanakan sendiri tanpa berjamaah”
Alasannya:
1) Sabda Nabi Muhammad Saw.
Imam al-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama Syafi’iyyah dan sebagian pengikut Imam Malik dan lainnya berpendapat bahwa: Shalat tarawih lebih utama dilakukan secara berjamaah, alasannya:
1) Mengikuti perintah Umar bin Khatab ra sebagaimana
hadis-hadis yang sudah diriwayatkan terdahulu.
2) Melaksanakan amalan para sahabat Nabi r.a
3) Melestarikan amalan kaum muslimin Timur dan Barat.
4) Karena termasuk perbuatan mensyi’arkan Islam,
sebagaimana halnya shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Malahan berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Imam at Thahawi berpendapat berjamaah dalam shalat tarawih hukumnya Wajib Kifayah
Namun Imam Malik Abu Yusuf dan sebagian kecil pengikut Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat berjamaah Tarawih hukumnya “lebih utama dilaksanakan sendiri tanpa berjamaah”
Alasannya:
1) Sabda Nabi Muhammad Saw.
عن يسر بن سعيد ان زيد بن ثابت قال: افضل الصلاة
صلاتكم في بيوتكم الاصلاة المكتوبة. رواه الترمذى
Artinya: hadits riwayat dari Yusrin bin Said bahwasanya Zaid bin Tsabit berkata: “Paling utama-utamanya shalat adalah shalat kalian dikerjakan dirumah kecuali shalat fardlu”.
Pengikut Imam Malik, bertanya kepadanya: Bagaimana Imam Malik melakukan Qiyamul lail di Bulan Ramadhan lebih disukai yang mana berjamaah dengan orang banyak atau dilaksanakan sendiri di rumah?
Imam Malik menjawab: kalau dilaksanakan sendiri di rumah itu kuat dan lama. Saya lebih suka. Tetapi kebanyakan kaum muslimin tidak kuat dan malas melaksanakan shalat sendiri di rumah
Imam Turmudzi dan Imam Rabiah melaksanakannya sendiri di rumah begitu juga ulama-ulama lain. Sementara Imam Malik lebih suka dan lebih senang melakukan shalat sunnat sendiri di rumah
KH Muhaimin Zen
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH)
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH)
Sumber : Situs Resmi PBNU
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih Menurut Madhab Empat
FASAL TENTANG SHALAT TARAWIH (2)
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih Menurut Madhab Empat
Ada beberapa
pendapat mengenai bilangan rakaat yang dilakukan kaum muslimin pada bulan
Ramadhan sebagai berikut:Jumlah Raka’at Shalat Tarawih Menurut Madhab Empat
1. Madzhab Hanafi
Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi dalam kitab Fathul Qadirbahwa Disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadhan sesudah Isya’, lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih (istirahat), setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil).
Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20 rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan setiap istirahat dua salam dan setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.
2. Madzhab Maliki
Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan umat.
Dari kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam Malik berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Dari untuk shalat bersama umat 11 rakaat”. Dia berkata “bacaan surahnya panjang-panjang” sehingga kita terpaksa berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, “Orang-orang melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadhan 23 rakaat”.
Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik.
3. Madzhab as-Syafi’i
Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam bulan Ramadhan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di makkah dan mereka witir 3 rakaat.
Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadhan.
4. Madzhab Hanbali
Imam Hanbali menjelaskan dalam Al-Mughni suatu masalah, ia berkata, “shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat Tarawih”, sampai mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah (Ahmad Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.
Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab, dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia shalat bersama mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali pada separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat dirumahnya maka mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin Yazid.
Kesimpulan
Dari apa yang kami sebutkan itu kita tahu bahwa para ulama’ dalam empat madzhab sepakat bahwa bilangan Tarawih 20 rakaat. Kecuali Imam Malik karena ia mengutamakan bilangan rakaatnya 36 rakaat atau 46 rakaat. Tetapi ini khusus untuk penduduk Madinah. Adapun selain penduduk Madinah, maka ia setuju dengan mereka juga bilangan rakaatnya 20 rakaat.
Para ulama ini beralasan bahwa shahabat melakukan shalat pada masa khalifah Umar bin al-Khattab ra di bulan Ramadhan 20 rakaat atas perintah beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dan lain-lainnya, dan disetujui oleh para shahabat serta terdengar diantara mereka ada yang menolak. Karenanya hal itu menjadi ijma’, dan ijma’ shahabat itu menjadi hujjah (alasan) yang pasti sebagaimana ditetapkan dalam Ushul al-Fiqh.
KH Muhaimin Zen
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH)
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH)
Sumber : Situs Resmi PBNU
Pengertian Qiyamu Ramadhan
FASAL TENTANG SHALAT TARAWIH
(1)
Pengertian Qiyamu Ramadhan
Pengertian Qiyamu Ramadhan
Shalat Tarawih merupakan Ibadah yang unik bagi umat Islam di
Indonesia, selalu saja setiap tahun menjelang bulan Ramadhan dan dalam bulan
Ramadhan menjadi bahan pembicaraan dan kajian bagi kalangan intelektual. Bahkan
ada juga di kalangan masyarakat papan menengah ke bawah dan pinggiran, menjadi
sumber konflik, antara jamaah satu dengan jamaah lain, antara masjid satu dengan
masjid lainnya bahkan ada yang konflik antar keluarga, antara menantu dan mertua
bisa terjadi retak dan bercerai gara-gara tidak sepaham dengan amaliyah yang
dianutnya.
Pasalnya adalah masalah tarawih di bulan Ramadhan, ada yang mengerjakan 20 rakaat dan ada yang 8 rakaat. Masalah furuiyyah yang kental dengan khilafiyyah ini sudah lama menjadi kajian para fuqaha terdahulu dan sudah disiapkan jawabannya. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapi permasalahan “khilafiyyah” tersebut.
Bagi mereka yang dapat memanfaatkan dan menghargai usaha dan pemikiran para fuqaha tersebut maka dapat merasakan rahmat dan nikmatnya ikhtilaf, tapi bagi mereka yang tidak mau menggunakannya maka menjadi mala petaka baginya dan umat yang dipimpinnya.
Sebenarnya permasalahan apa yang mereka ributkan itu? Permasalahnnya adalah berangkat dari hadits Nabi yang berbunyi:
Pasalnya adalah masalah tarawih di bulan Ramadhan, ada yang mengerjakan 20 rakaat dan ada yang 8 rakaat. Masalah furuiyyah yang kental dengan khilafiyyah ini sudah lama menjadi kajian para fuqaha terdahulu dan sudah disiapkan jawabannya. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapi permasalahan “khilafiyyah” tersebut.
Bagi mereka yang dapat memanfaatkan dan menghargai usaha dan pemikiran para fuqaha tersebut maka dapat merasakan rahmat dan nikmatnya ikhtilaf, tapi bagi mereka yang tidak mau menggunakannya maka menjadi mala petaka baginya dan umat yang dipimpinnya.
Sebenarnya permasalahan apa yang mereka ributkan itu? Permasalahnnya adalah berangkat dari hadits Nabi yang berbunyi:
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله
عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه
البخاري
Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).
Dari hadis ini timbul perbedaan pemahaman apakah yang dimaksud من قام itu قيام اليل atau tarawih, maka berikut ini penulis mencoba mengemukakan pandangan para ulama sebagai berikut:
Pemahaman bahwa kegiatan shalat sunah di malam-malam Ramadhan dikatakan tarawih atau qiyamu Ramadhan adalah didasarkan sabda Nabi SAW:
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله
عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه
البخاري
Barang siapa shalat pada “malam Ramadhan” karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).
Kata “Tarawih” adalah jama’ dari “Tarawih” yaitu satu kali dari “Rahah” (istirahat), seperti kata “Taslimah” dari “salam”. Shalat Tarawih berjamah pada malam-malam Ramadhan dinamakan Tarawih karena kaum muslimin pertama kali berkumpul untuk shalat itu mereka beristirahat pada setiap dua kali salam.
Arti (من قام رمضان) ialah berdiri untuk shalat pada malam-malam Ramadhan. Yang dimaksud dengan Qiyam al-Lail ialah asal berdiri yang terjadi pada malam itu, tidak disyaratkan harus mencakup seluruh malam.
Imam Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: Yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah Shalat Tarawih. Yakni bahwa dengan melakukan shalat itu, maka terpenuhilah bahwa apa yang dimaksud dari Qiyam itu, begitu juga Al-kirmani, “mereka sepakat bahwa yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih”.
Arti (ايمان ) ialah membenarkan bahwa Allah adalah haq dengan meyakini keutamaan-Nya. Sedang arti (احتسابا ) ialah hanya mengharapkan Allah SWT saja dan tidak menghendaki dilihat oleh manusia dan tidak pula selain itu yang bertentangan dengan ikhlas.
Pada kajian berikutnya akan dibahas mengenai jumlah rakaat dan keutamaan mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah.
KH Muhaimin Zen
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH)
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH)
Sumber : Situs Resmi PBNU
Mengenal Organisasi( NU ) Nahdlatul Ulama
Sejarah
|
Keterbelakangan, baik secara mental, maupun
ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat
kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan
martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang
muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat
kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar
terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai
jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan
kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan(Kebangkitan Tanah
Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikanTaswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri(Kebangkitan
Pemikiran), sebagai wahana
pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian
didirikan Nahdlatut Tujjar,
(Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar,
selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang
berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas
tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi
karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat
dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan
Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya,
kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan
bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren
dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan
pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang
akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk
menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan
peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang
dinamai denganKomite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab
Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun
dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja
Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas
dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran
internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan
bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang
sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi
yang bersifat embrional dan ad
hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih
mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka
setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk
membentuk organisasi yang bernamaNahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H
(31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais
Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini,
maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan
kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal
Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU ,
yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam
bidang sosial, keagamaan dan politik.
|
Paham
Keagamaan
|
Nahdlatul
Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang
mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli(skripturalis). Karena itu
sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu
dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat
madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984,
merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal
Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun
sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut
berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam
NU.
|
Sikap
Kemasyarakatan
|
Nahdlatul
Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang
mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli(skripturalis). Karena itu
sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu
dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat
Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke Khittah pada tahun 1984,
merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal
Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun
sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut
berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam
NU.
|
Basis
Pendukung
|
Jumlah warga
Nahdlatul Ulama (NU) atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40
juta orang, dari beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat
jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi
karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga
sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada umumnya mereka memiliki
ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat
dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran,
sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa
banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika selama ini basis
NU lebih kuat di sektor pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada sektor
perburuhan di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya
sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan
dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama
ini.
|
Dinamika
|
Prinsip-prinsip dasar yang dicanangkan Nahdlatul
Ulama (NU) telah diterjemahkan dalam perilaku kongkrit. NU banyak mengambil
kepeloporan dalam sejarah bangsa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa organisasi
ini hidup secara dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman. Prestasi NU
antara lain:
|
Tujuan
Organisasi
|
Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah
Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Usaha Organisasi
|
Struktur
|
Untuk tingkat Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis
Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
Untuk tingkat Ranting, setiap kepengurusan
terdiri dari:
|
Jaringan
|
Hingga akhir
tahun 2000, jaringan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) meliputi:
|
Ahlussunnah wal Jamaah di Bumi Nusantara
Ahlussunnah wal Jamaah di Bumi
Nusantara
Kepercayaan Pagan, Hindu, Budha dan Islam secara dialektik telah menjadi tata nilai yang berjalan di kawasan Asia Tenggara. Nilai-nilai tersebut, bahkan, kemudian mampu memberikan kontribusi dalam membentuk sistem pemerintahan dan varian keagamaan sendiri yang mencerminkan pergumulan antara budaya luar dengan budaya asli Nusantara.
Lebih-lebih ketika Islam datang ke Nusantara. Agama baru ini diterima sangat baik oleh penduduk setempat. Hal itu karena kearifan para ulama atau wali yang datang ke wilayah ini, yang sangat menghormati tradisi, adat istiadat, bahkan agama setempat. Islam dicoba diselaraskan dengan ajaran setempat, karena itu tidak sedikit tradisi yang kemudian dijadikan sarana penyiaran Islam.
Dengan cara itu mereka tidak terusik dengan datangnya agama baru (Islam) itu, mereka menerima dengan tangan terbuka. Apalagi agama Islam yang tidak mengenal strata sosial itu, dirasa sangat membebaskan mereka dari kungkungan kekastaan yang ketat, karena itu mereka turut membantu penyebarannya.
Sistem keberagamaan yang toleran dengan tradisi lokal ini berkembang luas di kalangan Islam Nusantara yang dikenal dengan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, yang dikembangkan oleh para wali atau ulama baik di Aceh, di Minangkabau, di Palembang di Pontianak, Banjarmasin, Bugis, Makassar, Ternate, Nusa Tenggara dan sebagainya, pada umumnya bermazhab Syafiiyah, atau mazhab empat pada umumnya. Mereka juga terhimpun dalam kelompok terekat, seperti Sattariyah, Qadiriah, Naqshabandiyah dan lain sebagainya.
Dengan kekuatan tradisi itu mereka bisa mendirikan pusat-pusat kebudayaan, baik berupa kerajaan maupun lembaga pendidikan pesantren dan pusat perdagangan. Dengan sarana itu Islam berkembang pesat di seluruh penjuru Nusantara lebih intensif dan lebih langgeng ketimbang pengaruh agama lainnya yang pernah ada.
Keutuhan dan keberagamaan masyarakat Nusantara ini mulai terusik ketika muncul gerakan Wahabi yang puritan. Semua tata nilai yang telah dikembangkan untuk mendukung sarana dakwah dan ibadah itu dicap sebagai tahayul, bid’ah, dan khurafat.
Selama beberapa dasawarsa mereka menyerang dengan sengit kelompok ahlussunnah yang bermazhab dan kaum tarekat, karena dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Mereka ini tidak menghendaki adanya percampuran antara Islam dengan budaya Nusantara, mereka ingin mengembalikan Islam pada budaya Arab, yang hanya mengenal Al-Qur’an dan Hadits. Karena cara penyiaran ajaran baru itu demikian kasar, penuh kontroversi akhirnya, tidak diterima secara penuh oleh masyarakat.
Gelombang serangan terhadap eksistensi Islam Nusantara itu terus berdatangan dalam setiap dasawarsa, dengan datangnya gerakan Islam puritan yang radikal. Bahkan serangan juga datang dari kebudayaan Barat, yang menuduh Islam ini sebagai Islam sinkretis, yang konservatif yang tidak sesuai denagn kemajuan zaman. Bahkan saat ini sistem kapitalisme global yang manawarkan budaya sekular dan hedonis juga memberika ancaman tersendiri bagi keutuhan kamunitas Islam Nusantara yang dengan gigih mempertahankan moral dan tradisi.
Sebenarnya kekuatan Islam Nusantara ini sangat besar, karena didukung oleh mayoritas umat Islam, yang sehari-hari dengan gigih mengamalkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Hanya saja kurang terpadu dan kurang sigap dalam memainkan media, sehinga perannya seolah menjadi terpinggir oleh kelompok-kelompok Islam garis keras yang puritan, tetapi sebenarnya minoritas.
Tradisi ini tidak hanya Nahdlatul Ulama, tetapi juga didukung oleh organisasi Islam yang lain seperti; Tarbiyah Islamiyah (Padang), Al Washliyah (Medan), Al Khairat (Palu), Nahdlatul Wathon (Mataram), Darut Dakwah wal- Irsyad/DDI (Sulawesi Selatan) dan Mathlaul Anwar (Banten). Apabila seluruh kekuatan Islam bermazhab Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara ini bersatu padu, maka keberadaan Islam Ahlussunnah di Nusantara ini akan tetap lestari bahkan mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat, bahkan mampu menentukan masa depan bangsa ini.
Mengingat adanya tantangan yang terus-menerus baik dari kalangan Islam radikal yang puritan maupun dari kalangan Islam liberal yang militan, maka eksistensi Islam Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara ini perlu diperkuat. Hadirnya Islam Ahhlusunnah wal Jamaah kita harapkan membawa pengaruh besar pada kehidupan bangsa di bumi Nusantara ini.
Abdul Mu’im DZ
Pemimpin Redaksi NU Online
Sumber : Situs Resmi PBNU
4 Sumber Hukum dalam Aswaja ( Ahlusunnah Wal Jama'ah )
4 Sumber Hukum dalam
Aswaja
Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah
(Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut;
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan
hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada
ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman
dalam surat al-Baqarah ayat 2; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :
ذلِكَ اْلكِتَبَ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِيْنَ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ
فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلكفِرُوْنَ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang
kafir”.
Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah,
lalu;
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ
فَأُوْلئِكَ هُمُ الظّلِمُوْنَ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”.
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama
manusia
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلفسِقُوْن َ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”.
Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan
Allah.
Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW.
Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka
As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam
Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut;
وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ
لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan
kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka
memikirkan”. (An-Nahl : 44)
وَمَاءَاتَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ
وَمَانَهكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْاوَاتَّقُوْااللهَ, اِنَّ اللهَ
شَدِيْدُاْلعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)
Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah
menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.
Al-Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW
seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum
dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
Kemudian ijma’ ada 2 macam :
1. Ijma’ Bayani (الاجماع البياني ) ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
2. Ijma’ Sukuti (الاجماع السكوتي) ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.
1. Ijma’ Bayani (الاجماع البياني ) ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
2. Ijma’ Sukuti (الاجماع السكوتي) ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.
Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti,
karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani
telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan
menta’ati.
Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih
mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka
itulah yang disebut Ulil Amri Minkum (اولىالامر منكم )
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59
ياأَيُّهَاالَّذِيْنَ
أَمَنُوْاأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ
مِنْكُمْ
“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan
Ulil Amri di antara kamu”.
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu
masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman
sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib
diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’
sebagai sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan Termidzi Juz IV hal
466.
اِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ اُمَّتىِ عَلىَ
ضَلاَ لَةٍ, وَيَدُاللهِ مَعَ اْلَجَماعَةِ
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan
perlindungan Allah beserta orang banyak.
Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431
اِنَّ اُمَّتىِ لاَتَجْتَمِعُ عَلىَ
ضَلاَ لَةٍ فَاءِذَارَأَيْتُمُ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِاْ
لأَعْظَمِ.
“Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka
apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada
golongan yang terbanyak”.
Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu
berasal dari kata Qasa (قا س ). Yang disebut Qiyas ialah
menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang
antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan
as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam
suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras
(tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu
wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.
Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya,
sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat.
Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan
gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi
sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman
:
فَاعْتَبِرُوْا يأُوْلِى
اْلأَيْصَارِ
“Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang
yang mempunyai pandangan”. (Al-Hasyr : 2)
عَنْ مُعَاذٍ قَالَ : لَمَا بَعَثَهُ
النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم اِلىَ اْليَمَنِى قَالَ: كَيْفَ تَقْضِى اِذَا
عَرَضَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ اَقْضِى بِكَتَابِ اللهِ قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى
كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى
سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فىِ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ اَجْتَهِدُ بِرَأْيِى
وَلاَ الُوْ قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ
اْلحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَاهُ رَسُوْلُ
اللهِ. رواه أحمد وابو داود والترمذى.
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus
ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak
kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan
kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi
bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab
Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak
kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz
berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW
dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.
Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan
firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :
ياأَيُّهَااَّلذِيْنَ ءَ امَنُوْا
لاَتَقْتُلُوْاا لصَّيْدَوَاَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِدًا
فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَاعَدْلٍ
مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang
buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan
sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang
dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara
kamu”. (Al-Maidah: 95).
Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan
dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah
wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash
yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
KH A Nuril HudaKetua PP
Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Sumber : Situs Resmi PBNU
4 Madzhab dalam Ilmu Fiqih
4 Madzhab dalam Ilmu
Fiqih
Ahlussunnah wal Jama’ah berhaluan salah satu Madzhab yang empat.
Seluruh ummat Islam di dunia dan para ulamanya telah mengakui bahwa Imam yang
empat ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal
telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid. Hal itu dikarenakan ilmu, amal dan
akhlaq yang dimiliki oleh mereka. Maka ahli fiqih memfatwakan bagi umat Islam
wajib mengikuti salah satu madzhab yang empat tersebut.
Madzhab Hanafi
Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin
Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H.
Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal) karena hadits yang sampai ke Irak
sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan Qiyas.
Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud dan
fasih membaca Al-Qur’an. Beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman bani
Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak.
Madzhab ini berkembang karena menjadi madzhab pemerintah pada saat
Khalifah Harun Al-Rasyid. Kemudian pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur
beliau diminta kembali untuk menjadi Hakim tetapi beliau menolak, dan memilih
hidup berdagang, madzhab ini lahir di Kufah.
Madzhab Maliki
Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Ia dilahirkan
di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Beliau sebagai ahli
hadits di Madinah dimana Rasulullah SAW hidup di kota tersebut.
Madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli Hadits, bahkan beliau
mengutamakan perbuatan ahli Madinah daripada Khabaril Wahid (Hadits yang
diriwayatkan oleh perorangan). Karena bagi beliau mustahil ahli Madinah akan
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasul, beliau lebih banyak
menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau perbuatan ahli Madinah
termasuk hadits mutawatir.
Madzhab ini lahir di Madinah kemudian berkembang ke negara lain
khususnya Maroko. Beliau sangat hormat kepada Rasulullah dan cinta, sehingga
beliau tidak pernah naik unta di kota Madinah karena hormat kepada makam
Rasul.
Madzhab Syafi’i
Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i
Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir
pada tahun 204 H.
Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan madzhabul
hadits, kemudian beliau pergi ke Irak dan belajar dari ulama Irak yang dikenal
sebagai madzhabul qiyas.
Beliau berikhtiar menyatukan madzhab terpadu yaitu madzhab haditsdan madzhab qiyas.
Itulah keistimewaan madzhab Syafi’i.
Di antara kelebihan asy-Syafi’i adalah beliau hafal Al-Qur’an umur
7 tahun, pandai diskusi dan selalu menonjol. Madzhab ini lahir di Mesir kemudian
berkembang ke negeri-negeri lain.
Madzhab
Hanbali
Dinamakan
Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani, lahir di
Baghdad Th 164 H dan wafat Th 248 H. Beliau adalah murid Imam Syafi’i yang
paling istimewa dan tidak pernah pisah sampai Imam Syafi’i pergi ke Mesir.
Menurut
beliau hadits dla’if dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang afdal
(fadlailul a'mal) bukan untuk
menentukan hukum. Beliau tidak mengaku adanya Ijma’ setelah sahabat karena ulama
sangat banyak dan tersebar luas.
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Sumber : Situs Resmi PBNU
Rabu, 25 Juni 2014
Lupa Niat Berpuasa
RAMADHAN BERKAH
Lupa Niat Berpuasa
Niat adaah I’tikad tanpa ragu untuk
melaksanakan amal. Dalam hal puasa Ramadhan , kapan saja terbersit dalam hati
di waktu malam bahwa besok adalah Ramadhan dan akan berpuasa, maka itulah niat
(al-Fiqh al-Islami, III, 1670)
Terus bagaimanakah jika terlupakan
membaca niat untuk puasa Ramadhan pada malam hari, padahal malam itu juga makan
sahur. Apakah secara otomatis sahur dapat dianggap sebagai niat, mengingat
sahur sendiri dilakukan karena ingin berpuasa esok hari?
Hal yang demikian ini sering
terjadi. Tak jarang menimbulkan keraguan. Imam Syafi’I berpendapat bahwa makan
sahur tidak dengan sendirinya dapat menggantikan kedudukan niat, kecuali apabila
terbersit (khatara) dalam hatinya maksud untuk berpuasa. (al-Fiqh al-Islami,
III, 1678).
Sedangkan menurut mazdhab lain ada
keterangan tambahan. Jika sahur dilakukan pada waktunya (lewat tengah
malam), maka tanpa niatpun dinilai cukup. Tetapi jika makan dan minum diluar
waktu sahur (sebelum tengah malam) maka diperlukan niat berpuasa untuk esok
hari.
Masalahnya, seringkali seseorang makan sahur dalam keadaan belum sadar.
Mungkin karena terlalu kantuk ataupun makan sambil tidur. Karena dikhawatirkan
sama sekali tidak terbersit di hatinya keinginan untuk berpuasa. Maka niat
berpuasa menjadi wajib.
Niat adalah ruh dalam amal. Suatu
perkejaan akan dicatat sebagai amal saleh, buruk atau sia-sia tergantung pada
niatnya. Sebagaimana dimaksudkan dalam hadits:
إنما الأعمال بالنيات, وإنمالكل امرئ
مانوى
Sahnya suatu amal bergantung pada
niat. Setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan. (HR.
Bukhari)
Mengingat begitu pentingnya kedudukan niat, sudah semestinya kita berhati-hati
dan memperhatikan bagaimana agar niat kita sah. Untuk keabsahan niat
menurut jumhur ulama ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Pertama, niat dilakukan pada waktunya, yaitu antara maghrib sampai menjelang
shubuh untuk puasa yang akan dilakukan besok. Dalam kitab-kitab fiqih ini lazim
disebut tabyitun niyyah (menginapkan niat).
Kedua, menentukan niat tersebut
untuk puasa wajib, bukan sunnah atau puasa dengan maksud-maksud lain. Dalam
konteks Ramadhan, dengan sendirinya puasanya adalah puasa wajib.
Ketiga, memastikan niat (al-jazmu
bin niyyah) untuk satu jenis puasa saja. sebagai contoh, jika pada tanggal 29
Sya’ban seorang berniat untuk berpuasa besok, dengan catatan jika besok sudah
masuk bulan Ramadhan maka puasanya karena Ramadhan. Dan jika belum, maka puasanya
dimaksudkan sebagai puasa sunnah. Maka niat semacam ini tidak mencukupi syarat
puasa yang manapun. Artinya, niat semacam itu tidak syah baik bagi puasa
Ramadhan maupun Sunnah.
Keempat, niat dilakukan setiap hari
sesuai dengan bilangan hari Ramadhan (ta’addudun niyah bi ta’addudil ayyam).
Satu kali niat hanya berlaku untuk satu hari puasa, karena setiap hari puasa
adalah ibadah tersendiri yang tidak berhubungan atau terkait dengan hari puasa
yang lain, seperti hanya satu shalat (shubuh, misalnya) adalah ibadah
tersendiri yang tidak berhubungan dengan shalat lain (Dzuhur, misalnya).
Buktinya, sah tidaknya suatu hari puasa tidak mempengaruhi sah atau tidaknya
puasa di hari yang lain.
Ringkasnya, cukup sebagai niat jika
setiap hari antara Maghrib sampai menjelang Shubuh terdapat kesadaran dan
maksud untuk melakukan puasa Ramadhan besok.
Disarikan dari Dialog dengan Kiai
Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat, Ampel Suci 2003
Sumber : Situs Resmi PBNU
Langganan:
Postingan (Atom)