RAMADHAN BERKAH
Lupa Niat Berpuasa
Niat adaah I’tikad tanpa ragu untuk
melaksanakan amal. Dalam hal puasa Ramadhan , kapan saja terbersit dalam hati
di waktu malam bahwa besok adalah Ramadhan dan akan berpuasa, maka itulah niat
(al-Fiqh al-Islami, III, 1670)
Terus bagaimanakah jika terlupakan
membaca niat untuk puasa Ramadhan pada malam hari, padahal malam itu juga makan
sahur. Apakah secara otomatis sahur dapat dianggap sebagai niat, mengingat
sahur sendiri dilakukan karena ingin berpuasa esok hari?
Hal yang demikian ini sering
terjadi. Tak jarang menimbulkan keraguan. Imam Syafi’I berpendapat bahwa makan
sahur tidak dengan sendirinya dapat menggantikan kedudukan niat, kecuali apabila
terbersit (khatara) dalam hatinya maksud untuk berpuasa. (al-Fiqh al-Islami,
III, 1678).
Sedangkan menurut mazdhab lain ada
keterangan tambahan. Jika sahur dilakukan pada waktunya (lewat tengah
malam), maka tanpa niatpun dinilai cukup. Tetapi jika makan dan minum diluar
waktu sahur (sebelum tengah malam) maka diperlukan niat berpuasa untuk esok
hari.
Masalahnya, seringkali seseorang makan sahur dalam keadaan belum sadar.
Mungkin karena terlalu kantuk ataupun makan sambil tidur. Karena dikhawatirkan
sama sekali tidak terbersit di hatinya keinginan untuk berpuasa. Maka niat
berpuasa menjadi wajib.
Niat adalah ruh dalam amal. Suatu
perkejaan akan dicatat sebagai amal saleh, buruk atau sia-sia tergantung pada
niatnya. Sebagaimana dimaksudkan dalam hadits:
إنما الأعمال بالنيات, وإنمالكل امرئ
مانوى
Sahnya suatu amal bergantung pada
niat. Setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan. (HR.
Bukhari)
Mengingat begitu pentingnya kedudukan niat, sudah semestinya kita berhati-hati
dan memperhatikan bagaimana agar niat kita sah. Untuk keabsahan niat
menurut jumhur ulama ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Pertama, niat dilakukan pada waktunya, yaitu antara maghrib sampai menjelang
shubuh untuk puasa yang akan dilakukan besok. Dalam kitab-kitab fiqih ini lazim
disebut tabyitun niyyah (menginapkan niat).
Kedua, menentukan niat tersebut
untuk puasa wajib, bukan sunnah atau puasa dengan maksud-maksud lain. Dalam
konteks Ramadhan, dengan sendirinya puasanya adalah puasa wajib.
Ketiga, memastikan niat (al-jazmu
bin niyyah) untuk satu jenis puasa saja. sebagai contoh, jika pada tanggal 29
Sya’ban seorang berniat untuk berpuasa besok, dengan catatan jika besok sudah
masuk bulan Ramadhan maka puasanya karena Ramadhan. Dan jika belum, maka puasanya
dimaksudkan sebagai puasa sunnah. Maka niat semacam ini tidak mencukupi syarat
puasa yang manapun. Artinya, niat semacam itu tidak syah baik bagi puasa
Ramadhan maupun Sunnah.
Keempat, niat dilakukan setiap hari
sesuai dengan bilangan hari Ramadhan (ta’addudun niyah bi ta’addudil ayyam).
Satu kali niat hanya berlaku untuk satu hari puasa, karena setiap hari puasa
adalah ibadah tersendiri yang tidak berhubungan atau terkait dengan hari puasa
yang lain, seperti hanya satu shalat (shubuh, misalnya) adalah ibadah
tersendiri yang tidak berhubungan dengan shalat lain (Dzuhur, misalnya).
Buktinya, sah tidaknya suatu hari puasa tidak mempengaruhi sah atau tidaknya
puasa di hari yang lain.
Ringkasnya, cukup sebagai niat jika
setiap hari antara Maghrib sampai menjelang Shubuh terdapat kesadaran dan
maksud untuk melakukan puasa Ramadhan besok.
Disarikan dari Dialog dengan Kiai
Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat, Ampel Suci 2003
Sumber : Situs Resmi PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar